Sejak pertama kali diumumkan di kota Wuhan, China, penyebaran virus corona atau COVID-19 menjadi sebuah fenomena global yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian China secara khusus dan negara-negara lainnya secara umum, salah satunya Indonesia yang merupakan salah satu negara pengekspor komoditi terbesar ke China.
Dampak menurunnya aktivitas industri manufaktur China menurut Josua, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede pada Selasa (3/3/2020) tentu saja sangat berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.
Dari sektor perdagangan, keadaan tersebut tentunya berpotensi terhadap kurangnya permintaan ekspor komoditi Indonesia untuk China. Sekedar catatan, saat ini hampir 17 persen ekspor Indonesia ditujukan ke China.
“Setiap 1 persen perlambatan ekonomi China berpengaruh terhadap perlambatan ekonomi Indonesia sebesar 0,3 persen,” ujarnya.
Kemudian, dari sektor investasi, dapat dilihat dari gejolak pasar keuangan yang saat ini cenderung tertahan.
“Sama seperti negara-negara lain, saat ini, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan dalam hal mengantisipasi dari dampak negatif COVID-19 ini. Salah satu kebijakannya adalah memberikan insentif untuk sektor pariwisata. Kemudian, untuk sektor perumahan khususnya untuk masyarakat menengah ke bawah, kebijakannya adalah menurunkan suku bunga sehingga meningkatkan supply untuk perumahan dan lain-lain,” ucapnya.
“Bank Indonesia merespons dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang mana kesimpulannya adalah menjaga nilai rupiah agar tetap stabil di pasar global. Langkah-langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu meminimalisir dampak negatif COVID-19 terhadap perekonomian Indonesia. Memang efek dari Corona ini belum bisa ditanggulangi, tapi kita berharap agar keadaan ini bisa segera di-recover baik China maupun Indonesia dan negara-negara lain,” lanjut Josua.
Terkait rancangan Omnibus Law pemerintah, Josua berpendapat bahwa langkah tersebut merupakan langkah ideal yang mampu mendongkrak perekonomian Indonesia salah satunya dari segi investasi di mana melalui Omnibus Law pemerintah saat ini, segala bentuk peraturan yang menghambat atau mempersulit investasi akan dimudahkan.
“Ini merupakan bentuk respons pemerintah yang mana kita tahu tahun lalu akibat dampak perang dagang, banyak investasi dari China khususnya sektor industri yang direlokasi ke Vietnam sehingga memang diperlukan langkah-langkah mendongkrak gelora investasi di Indonesia,” paparnya.
Salah satu yang menjadi penyebab invetasi berkurang adalah banyaknya aturan tumpang tindih di Indonesia yang membuat investor asing enggan berinvestasi karena merasa sangat tidak efisien dan mempersulit.
“Jadi, Omnibus Law ini sangat baik karena dari 74 peraturan yang saling tumpang tindih tersebut akan dipangkas menjadi satu payung hukum. Langkah ini tentunya dapat menjadi nilai lebih para investor asing untuk kembali berinvestasi karena selain mempermudah proses juga mengurangi ongkos perizinan tadi,” kata Josua.
“Jika investasi didorong dan berkembang, ini kan dampaknya akan membangun sektor-sektor industri manufaktur kita juga yang katanya berjalan di tempat. Jika industri manufaktur kita tidak diperkuat, kita akan terus bergantung dengan impor. Tak hanya industri manufaktur, sektor lainnya juga perlu ditingkatkan produktivitasnya yang mana hal tersebut dapat dilakukan dengan peningkatan investasi,” tutup Josua.
Desakan agar Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja segara disahkan menjadi Undang-Undang terus mengalir. Pasalnya omnibus law ini merupakan terbosan pemerintah dalam memangkas birokrasi, selain itu RUU Cipta Kerja diyakini bisa mendorong investasi dan membuka lapangan kerja.
Pengamat dari Universitas Sumatera Utara (USU) Wahyu Ario Pratomo mengatakan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja harus dilihat dampaknya secara jernih. Dia menilai RUU itu memiliki banyak dampak positif bagi perekonomian Indonesia.
Menurut Wahyu, RUU Omnibus Law Cipta Kerja dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang saat ini stagnan, jalan di tempat. Ia mengungkapkan bahwa ekonomi stagnan karena pengaruh dari penyebaran Covid-19 atau virus corona.
Terkait hal itu, Wahyu melihat bahwa keberadaan aturan itu pada prinsipnya positif untuk mendorong investasi. Nantinya, adanya investasi itu membuka lapangan pekerjaan yang saat ini dibutuhkan masyarakat Indonesia.